Senin, 07 September 2009

Pengawet alami pengganti formalin

Sebenarnya, masalah penggunaan bahan tambahan ilegal didalam pangan telah sejak lama didengungkan oleh banyak pihak, baik


dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Perguruan Tinggi maupun oleh Yayasan Lembaga Konsumen. Tetapi, karena masyarakat konsumen belum memahami bahaya kegunaan bahan ilegal ini, ditambah dengan hukum yang tidak secara tegas menjerat produsen bermasalah, maka produsen bermasalah tetap bisa menggunakan bahan ilegal ini karena konsumen toh tidak mempermasalahkannya. Heboh di seputar penggunaan formalin pada bahan pangan menunjukkan adanya pergeseran nilai yang dianut oleh konsumen pangan di Indonesia. Tingkat kesadaran akan pentingnya kesehatan, ditambah dengan publikasi yang terus-menerus dari media massa mengenai bahaya penggunaan bahan ilegal, menyebabkan konsumen beramai-ramai menolak makanan yang diduga ditambahkan dengan bahan ilegal termasuk formalin yang sekarang sedang ramai dibicarakan. Hal ini memberi pukulan sangat hebat untuk industri-industri yang ditenggarai sering menggunakan formalin dalam produknya. Saat ini juga ramai dipromosikan bahan-bahan pengawet alternatif pengganti formalin. Sebagian besar alternatif yang disodorkan merupakan pengawet alami. Tetapi, sebetulnya ada banyak pertanyaan diseputar bahan-bahan pengawet ini, agar penggunaannya tidak memicu masalah baru dikemudian hari. Senyawa antimikroba adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Sejarah penggunaan pengawet didalam bahan pangan sendiri bermula dari penggunaan garam, asap dan asam (proses fermentasi) untuk mengawetkan pangan. Sejumlah bahan antimikroba kemudian dikembangkan dengan tujuan untuk menghambat atau membunuh mikroba pembusuk (penyebab kerusakan pangan) dan mikroba patogen (penyebab keracunan pangan). Penggunaan antimikroba yang tepat dapat memperpanjang umur simpan dan menjamin keamanan pangan. Pemilihan dan penggunaan antimikroba perlu mempertimbangkan banyak faktor, dan semua kembali pada keseimbangan dari resiko dan keuntungan. Faktor-faktor pertimbangan untuk memilih antimikroba yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain antimikroba; tipe, karakteristik dan jumlah mikroba didalam produk; aspek legalitas dan keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk. Selain itu, efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba didalam bahan pangan sangat tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman), polaritas, komposisi nutrisi didalam bahan pangan, juga tergantung pada faktor lainnya seperti kondisi suhu dan proses pengolahan, pengemasan serta penanganan pasca pengolahan. Sejak lama telah disadari, bahwa banyak bahan alami memiliki aktivitas menghambat mikroba, yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada didalamnya. Laporan tertua tahun 1550 SM menyebutkan bahwa masyarakat Mesir kuno telah menggunakan rempah sebagai pengawet pangan dan pembalsem mumi. Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman rempah (seperti jahe, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya) maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada umumnya menunjukkan bahwa secara in vitro, beberapa bahan alam berpotensi menjadi antimikroba masa depan. Tetapi, jalan untuk aplikasi bahan tersebut ke dalam pangan masih sangat panjang. Dibutuhkan banyak penelitian lanjutan sebelum menyimpulkan bahwa bahan antimikroba atau pengawet alami ini dapat diproduksi secara komersial dan aman terhadap konsumen jika diaplikasikan kedalam bahan pangan. Pada bahan yang menunjukkan aktivitas antimikroba dibutuhkan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui komponen aktif antimikrobanya, spektrum antimikrobanya serta berapa besar konsentrasi kompone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar